Welcome My Blog
Home About me Photo of Me My Campus Friendship Love Story Career Tugas Kampus

Analisis : TANJIDOR, MUSIK RAKYAT YANG KIAN TERGERUS JAMAN

Tanggal           : 7 Maret 2012
Publikasi          : palingindonesia.com

TANJIDOR, MUSIK RAKYAT YANG KIAN TERGERUS JAMAN

Melihat sekelompok kakek-kakek fasih memainkan harmonisasi nada yang keluar melalui alat tiupnya membuat saya merenung. Usia bukan penghalang kreativitas mereka di ranah musik, sembari melestarikan akar budaya yang hampir punah. Ya, musisi-musisi tanjidor kini memang mulai langka lantaran gagalnya regenerasi. Anak-anak muda yang sejatinya menjadi penerus tradisi, malah asyik masuk dalam band modern yang hanya memainkan tembang cengeng yang diberi sedikit distorsi. Walau demikian, Tanjidor sesekali masih menebar pesonanya lewat acara-acara khusus saja.
Tanjidor sendiri diambil dari bahasa Portugis, tangedor yang berarti alat musik berdawai alias stringed instrument. Namun saat masuk ke Betawi, maknanya mulai berubah menjadi music brass. Pasalnya Tangedor dimainkan oleh 7 sampai 10 orang yang didominasi oleh alat musik tiup semisal clarinet, trombone, piston, saksofon tenor, saksofon bas,membranofon, tambur hingga simbal. Menurut beberapa literatur, musik tanjidor sendiri merupakan hasil rintisan seorang bekas tawanan yang dimerdekakan (mardijkers) bernama asli Augustijn Michiels (1769 – 1833) atau yang akrab disapa Mayor Jantje.
Lantaran memainkan musik hanya untuk kesenangan, kepuasan batin serta merupakan kegemaran saja, tak heran jika banyak musisi-musisi tanjidor saat itu tidak mengenal not balok. Namun keunikan perpaduan nada-nada yang keluar lewat berbagai alat musik tiup yang diharmonisasikan dengan gemuruh perkusi membuat kelompok musik ini digemari. Tidak hanya itu, lagu-lagu yang kerap mereka dendangkan juga biasanya berirama ceria dan atau bernada mars. Sebut saja Kramton, Bananas, Cente Manis, Kramat Karem, Merpati Putih, Surilang, Jali-Jali, Kicir-Kicir, Sang Kodok hingga Sirih Kuning. Kemungkinan besar ini didasari oleh polah etnik Betawi yang jenaka.
Perubahan jaman kini menyebabkan gaung tanjidor kian tergerus. Representasi kesenian Betawi ini belakangan hanya dapat ditemukan di ajang pagelaran budaya, pernikahan adat Betawi, khitanan atau bahkan penyambutan tamu. Segelintir kelompok tanjidor yang masih bertahan hingga sekarang adalah Grup Tanjidor Putra Mayangsari pimpinan Marta Nyaat dari Cijantung yang merupakan generasi ke empat, Pusaka asal Jagakarsa, dan Tiga Saudara yang berdiri sejak 1973 di Srengseng Sawah. Bahkan beberapa kelompok memadukan Tanjidor dengan Tari Topeng dan lenong (Jipeng) hanya agar kesenian ini kembali diminati.

ANALISIS       :

Artikel berjudul “Tanjidor, Musik Rakyat Yang Kian Tergerus Jaman” ini menceritakan tentang keindahan musik tanjidor yang langka seiring perubahan jaman. Musisi-musisi tanjidor mulai langka lantaran gagalnya regenerasi.
            Artikel ini menambah pengetahuan pembaca, karena isinya mengandung ilmu pengetahuan mengenai sejarah musik tanjidor. Tanjidor sebagai satu jenis kesenian musik asli Betawi, dimainkan secara berkelompok. Musik tanjidor diduga berasal dari bahasa portugis, tangedor yang berarti alat-alat musik berdawai (Stringed instruments).
            Dilihat dari judulya, “Tanjidor, Musik Rakyat Yang Kian Tergerus Jaman”, seolah-olah memberitahukan pembaca untuk dapat mengembangkan musik tanjidor. Para pembaca yang peduli terhadap kebudayaan Indonesia ketika melihat judul ini akan tertarik untuk mengetahui dan menambah ilmu mengenai perkembangan musik tanjidor. Pada artikel ini seharusnya lebih ditekankan pada kalimat persuasif, sehingga pembaca ataupun masyarakat lebih terhimbau lagi untuk mengembangkan kesenian musik tanjidor.
            Solusi yang di tawarkan dalam artikel ini sangat sedikit, yaitu perkembangan musik tanjidor sangat bergantung pada masyarakat terutama anak-anak muda sebagai generasi penerus tradisi. Lebih baik lagi apabila ditambahkan solusi yang lebih efektif dan melibatkan semua orang, termasuk para pembaca juga agar turut ambil bagian mengembangkan kesenian tanjidor.
            

REVIEW 3: "Penghapusan Pendaftaran Merek Berdasarkan Gugatan Pihak Ketiga"



PENGHAPUSAN PENDAFTARAN MEREK
BERDASARKAN GUGATAN PIHAK KETIGA

Agus Mardianto
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Sudirman Purwokerto, Jawa Tengah


Abstrak
Jurnal ini ditulis dengan tujuan untuk mempelajari penggunaan pasal 61 ayat (2) huruf b UU Merek tahun 2001 sebagai dasar untuk pembatalan sengketa tentang pendaftaran merek dagang  oleh  pihak  ketiga,  dan  mempelajari  konsekuensi  hukum  dari  pembatalan  merek  dagang.

Pendahuluan
Merek atau merek dagang adalah nama atau simbol yang diasosiasikan dengan produk/jasa dan menimbulkan arti psikologis/asosiasi. Merek merupakan kekayaan industri yang termasuk kekayaan intelektual. Secara konvensional, merek dapat berupa nama, kata, frasa, logo, lambang, desain, gambar, atau kombinasi dua atau lebih unsur tersebut. Hak atas Merek adalah hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada pemilik merek yang terdaftar dalam Daftar Umum Merek untuk jangka waktu tertentu. Hak Merek merupakan bagian dari HKI. Merek dianggap sebagai “roh” dari suatu produk. Bagi pengusaha, merek merupakan aset yang sangat bernilai karena merupakan ikon kesuksesan sejalan usahanya yang dibangun dengan segala keuletan termasuk biaya promosi. Bagi produsen merek dapat digunakan sebagai jaminan mutu hasil produksinya. Merek Terdaftar, sering disimbolkan dengan tanda ®. Di Indonesia, hak merek dilindungi melalui Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001. Jangka waktu perlindungan untuk merek adalah sepuluh tahun dan berlaku surut sejak tanggal penerimaan permohonan merek bersangkutan dan dapat diperpanjang, selama merek tetap digunakan dalam perdagangan. 
Pendaftaran atas merek merupakan suatu keharusan bagi pemilik merek, akan tetapi hak atas merek hanya akan diberikan oleh Direk-torat Merek jika permintaan pendaftaran merek oleh pemohon merek dilakukan dengan itikad baik. Pemohon yang beritikad baik adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara jujur dan layak tanpa ada niat apapun untuk membonceng, meniru, atau menjiplak ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian pada pihak lain itu atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau menyesatkan kon-sumen. Tidak semua merek dapat didaftarkan, hanya tanda-tanda yang memenuhi syarat di bawah ini yang dapat didaftar sebagai merek, seperti mempunyai daya pembeda; merupakan tanda pada barang dagang atau jasa yang dapat berupa gambar (lukisan), nama, kata, huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kom-binasi dari unsur-unsur tersebut; tanda tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas agama, kesusilaan, atau ketertiban umum; dan tanda tersebut juga tidak mempunyai per-samaan dengan merek lain yang terdaftar terlebih dahulu, atau merek terkenal.

Permasalahan
Berdasarkan uraian pada permasalahan, maka perlu dilakukan suatu kajian terhadap Penghapusan Pendaftaran Merek Berdasarkan Gugatan Pihak Ketiga dalam penerapan Pasal 61 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang Merek dalam Keputusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 06/Merek/2005.PN.Niaga.JKT.PST jo. Keputusan Mahkamah Agung Nomor 031/K/N/HAKI/ 2005; dan mengenai akibat hukum penghapusan pendaftaran merek berdasarkan gugatan pihak ketiga.

Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah metode  normatif  dengan  pendekatan  kualitatif  yurisdiksi  analisis  deskriptif  digunakan  untuk menganalisis  data  sekunder  diperoleh  dari  dokumen  keputusan  dari  Pengadilan  Niaga  Jakarta Pusat Nomor  06/Merek/205/PN.Niaga.JKT.PST dan dokumen  keputusan  Mahkamah Agung  Republik Indonesia Nomor 031K/N/HaKI2005. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan pasal 61 ayat (2) huruf b UU Merek 2001 untuk dasar keputusan hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat inappropritate. Dalam  menilai  pada  penggunaan  merek  dagang,  para  hakim  hanya  melihat  inkonsistensi  writtting gaya atau font atau warna, tapi tidak memperhatikan pertimbangan tujuan dan niat dari pihak yang menyatakan sengketa. Pembatalan dari pembatalan merek dagang berdasarkan sengketa pihak ketiga secara otomatis mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum merek dagang terkait. 
Kata kunci yang digunakan: Merk, Pembatalan Pendaftaran Merk, Pihak Ketiga, Niat Baik, Pengadilan Niaga.

Pembahasan
Penghapusan pendaftaran Merek dari Daftar Umum Merek dapat dilakukan atas prakarsa Direktorat Jenderal atau berdasarkan permohonan pemilik Merek yang bersangkutan. Permohonan penghapusan pendaftaran Merek oleh pemiik Merek atau Kuasanya, baik sebagian atau seluruh jenis barang dan/atau jasa, diajukan kepada Direktorat Jenderal. Penghapusan pendaftaran Merek atas prakarsa Direktorat Jenderal dapat dilakukan jika, (1)  Merek tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut dalam perdagangan barang dan/atau jasa sejak tanggal pendaftaran atau pemakaian terakhir, kecuali apabila ada alasan yang dapat diterima oleh Direktorat Jenderal; atau (2)  Merek digunakan untuk jenis barang dan/atau jasa yang tidak sesuai dengan jenis barang atau jasa yang dimohonkan pedaftaran, termasuk pemakaian Merek yang tidak sesuai dengan Merek yang didaftar.
Penghapusan pendaftaran merek dapat pula diajukan oleh pihak ketiga dalam bentuk gugatan kepada Pengadilan Niaga berdasarkan Pasal 63 UU Merek 2001, dengan alasan-alasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf a dan huruf b. Berdasarkan hal tersebut Gunawan Chandra mengajukan gugatan peng-hapusan pendaftaran merek kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dengan alasan sebagai-mana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (2) huruf, yaitu pemakaian merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar, dimana ketidak-sesuaian dalam penggunaan tersebut meliputi ketidaksesuaian dalam bentuk penulisan kata atau huruf atau ketidaksesuaian dalam peng-gunaan warna yang berbeda.
Mahkamah Agung berpendapat Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah salah menerapkan hukum (Pasal 61 ayat (2) huruf b UU Merek 2001) dengan pertimbangan bahwa merek adalah tanda yang berupa gambar, nama, kata huruf-huruf, angka-angka, susunan warna atau kombinasi dari unsur-unsur tersebut yang memiliki daya pembeda dan di-pergunakan dalam kegiatan perdagangan ba-rang atau jasa. Sehingga dalam menilai apakah penggunaan merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar seharusnya Majelis Hakim tidak hanya melihat pada ketidaksesuaian dalam bentuk penulisan kata atau huruf atau penggunaan warna yang berbeda dengan etiket merek yang terdaftar, melainkan harus pula memperhatikan apa yang dimaksud dengan merek (yang terdaftar) menurut Undang-Undang lebih-lebih terhadap suatu merek terkenal.
Doktrin nearly resembles menganggap suatu merek mempunyai persamaan pada pokoknya dengan merek orang lain jika pada merek tersebut terdapat kemiripan (identical) atau hampir mirip dengan merek orang lain, yang dapat didasarkan pada kemiripan gambar, susunan kata, warna atau bunyi. Faktor yang paling pokok dalam doktrin ini adalah pe-makaian merek yang mempunyai persamaan pada pokoknya ini dapat menimbulkan ke-bingungan yang nyata (actual confusion) atau menyesatkan (decieve) masyarakat konsumen. Seolah-olah merek tersebut berasal dari sumber atau produsen yang sama sehingga di dalamnya terlihat unsur iktikad tidak baik untuk mem-bonceng ketenaran merek milik orang lain.
Penghapusan Pendaftaran Merek yang di-lakukan atas prakarsa Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual atau berdasarkan per-mohonan pemilik merek yang bersangkutan dicatat dalam Daftar Umum Merek dan di-umumkan dalam Berita Resmi Merek. Sedang-kan Penghapusan Pendaftaran Merek berdasar-kan gugatan pihak ketiga akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual apabila putusan pengadilan tentang hal ter-sebut telah diterima dan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Apabila gugatan penghapusan pendaftaran merek diterima dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka Direktorat Jenderal Hak Kekayaan In-telektual akan melaksanakan penghapusan merek yang bersangkutan dari Daftar Umum Merek dan mengumumkannya dalam Berita Resmi Merek.Menurut Rachmadi Usman, penghapusan pendaftaran merek berdasarkan gugatan pihak ketiga akan dilakukan oleh Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual dengan cara mencoret merek yang bersangkut-an dari Daftar Umum Merek.15 Selanjutnya Saidin berpendapat bahwa sejak tanggal pen-coretan dari Daftar Umum Merek maka Sertifikat Merek yang bersangkutan dinyatakan tidak berlaku lagi.Dengan Penghapusan pen-daftarn merek mengakibatkan berakhirnya perlindungan hukum merek yang bersangkutan.


Penutup
Berdasarkan hasil analisis terhadap pe-nerapan Pasal 61 ayat (2) huruf b UU Merek 2001 terlihat bahwa penerapan Pasal 61 ayat (2) huruf b UU Merek 2001 yang menjadi dasar Putusan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam perkara gugatan peng-hapusan pendaftaran merek oleh pihak ketiga Putusan Nomor 06/Merek/2005/PN.Niaga.JKT. PST adalah kurang tepat. Majelis Hakim dalam menilai apakah penggunaan merek yang tidak sesuai dengan merek yang didaftar seharusnya tidak hanya melihat pada ketidaksesuaian dalam bentuk penulisan kata atau huruf atau penggunaan warna yang berbeda dengan etiket merek yang terdaftar, melainkan harus pula memperhatikan apa yang dimaksud dengan merek (yang terdaftar) menurut Undang-Undang, terlebih terhadap suatu merek terkenal.
Berdasarkan hasil yang ditemukan dapat dikemukakan saran bahwa sebaiknya dalam memutus perkara gugatan penghapusan pendaftaran merek yang dilakukan oleh pihak ketiga berdasarkan Pasal 61 ayat (2) huruf b jo. Pasal 63 UU Merek 2001, Majelis Hakim harus mempertimbangkan atau melihat apakah ketidaksesuaian dalam penggunaan bentuk penulisan kata atau huruf atau penggunaan warna yang berbeda itu akan merugikan pihak lain atau tidak, dengan kata lain apakah penggunaan bentuk penulisan kata atau huruf atau penggunaan warna yang berbeda tersebut menyerupai atau memiliki persamaan pada pokoknya atau persamaan pada keseluruhannya dengan merek orang lain yang sudah terdaftar terlebih dahulu. Pihak ketiga yang mengajukan gugatan penghapusan pendaftaran merek haruslah pihak ketiga yang berkepentingan dan mempunyai itikad baik. Diharapkan Pemerintah dapat mengantisipasi permasalahan penampilan kemasan suatu produk yang diperdagangkan (trade dress) melalui revisi Undang-Undang Merek yang sekarang ada.

Daftar Pustaka
Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (bekerja sama dengan ECAP II), 2006, Buku Panduan Hak Kekayaan Intelektual, Jakarta: Ditjen HKI DEPKUMHAM RI, hlm. 261
J. Satrio, 2000, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian. Bandung: Citra Aditya Bakti, hlm.179.
Emmy Yuhassari, 2004, Hak Kekayaan Intelektual dan Perkembangannya, Jakarta : Pusat Pengkajian Hukum, hal 206-207
Legal Review Nomor : 41 Tahun IV Maret 2006, hal 37.
Ahmad M. Ramli, 2004. Cyberl Law dan HAKI Dalam Sistem Hukum Indonesia, Bandung : Refika Aditama, hlm 11
Budi Agus Riswandi dan M.Syamsudin, 2004. Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya Hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, hlm 85
Muhamad Firmansyah, 2008, Tata Cara Mengurus HAKI, Jakarta: Visimedia, hlm 50


Referensi Jurnal:



Daftar Nama Anggota Kelompok (2EB16):
1. Dewi Komalasari – 21212952
2. Josina Christina – 23212974
3. Marya Yuliana - 24212469

REVIEW 2 : “Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia"

“Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia”

HARIS RETNO SUSMIYATI
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jl. Ki Hajar Dewantara Kampus Gunung Kelua Telp. (0541) 7072549 Samarinda 75123


D. Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Migas di Indonesia
Production Sharing Contract, atau sederhananya dalam bahasa Indonesia disebut, Kontrak Bagi Hasil. Ada banyak literatur di dunia internasional yang memberikan definisi masing-masing. Namun sebagai bangsa Indonesia, kita tidak perlu mencari-cari literatur sampai ke luar negeri, sebab Bangsa kitalah yang menjadi pelopor dari Kontrak Bagi Hasil.
Pengaturan dan prosedur Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) sudah ditentukan sepihak oleh pemerintah, dalam hal ini adalah badan pelaksana yaitu kementerian terkait dan para pihaknya adalah pemerintah dengan badan usaha atau bentuk usaha tetap dan  untuk penyelesaian sengketa dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) tidak diatur secara rinci dalam UU No. 22 Th. 2001 maupun dalam PP No. 35 Th. 2004 tetapi didasarkan pada kesepakatan para pihak yang dituangkan dalam kontrak.
Di dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi dan PP No. 35 Th. 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi, tidak ditemukan pasal yang mengatur tentang penyelesaian sengketa apabila terjadi sengketa anatar BP Migas dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap terhadap substansi kontrak bagi hasil (production sharing contract). Dalam prakteknya klausula penyelesaian sengketa dituangkan dalam kontrak bagi hasil(production sharing contract) atas dasar kesepakatan para pihak. Berdasarkan UU No. 22 Th. 2001, para pihak di dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract), adalah BP Migas dengan badan usaha dan/ atau bentuk usaha tetap. Apabila terjadi sengketa antara BP Migas dengan badan usaha, maka hukum yang digunakan adalah hukum Indonesia karena kedua belah pihak merupakan badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan mereka tunduk kepada hukum Indonesia.

E. Prinsip Pokok Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
Secara hukum peranan negara pada kontrak bagi hasil mengikuti dua prinsip berikut:

1. Negara memiliki hak pertambangan sehingga mereka memiliki produksi, hal ini secara hukum mengakibatkan monopoli negara pada eksplorasi dan produksi hidrokarbon. Perusahaan minyak bertindak sebagai pemberi jasa atau kontraktor.
2. Walaupun negara atau perusahaan negara mengandalkan kemampuan teknis dan sumber dana dari perusahaan minyak (yang meminjamkan atau mendanai kapital yang dibutuhkan) dia tetap memiliki bagian terbesar dan produksi. Bagi hasil ini adalah dari produksi yang terlihat pada laporan tahunan dan bukan pada cadangan total. Kontraktor bertanggung jawab atas pembiayaan dan menjalankan operasi dan hanya memperoleh pengembalian biaya dan keuntungan jika terdapat penemuan komersial yang dikembangkan.

F. Para Pihak dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
            Para pihak dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract) yaitu negara, yang diwakili oleh badan pelaksana yang sekarang telah dialihkan kepada SKSP Migas, sedangkan pihak kedua atau kontraktornya adalah badan usaha dan atau bentuk usaha tetap..

G. Obyek Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
            Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 tahun 2001, Obyek yang dapat diperjanjikan dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) menurut ketentuan Pasal 5 (1), pasal 6 (1) serta pasal 11 (1) adalah khusus kegiatan usaha hulu dalam pertambangan migas, yang meliputi eksplorasi dan eksploitasi. Ketentuan dalam Undang-undang ini khususnya pasal 1 ayat 8 dan 9, menerangkan yang dimaksud dengan eksplorasi adalah kegiatan yang bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan Minyak dan Gas Bumi di wilayah kerja yang ditentukan. Sedangkan yang dimaksud eksploitasi adalah rangkaian kegiatan yang bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi dari wilayah kerja yang ditentukan, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian Minyak dan Gas Bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya. 

H. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)
Hak dan kewajiban badan usaha dan atau badan usaha tetap yang melaksanakan kegiatan usaha hulu berdasarkan kontrak production  sharing diatur dalam pasal 31 undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. ada 2 macam kewajiban dari badan usaha dan badan usaha tetap, yaitu:
1. Membayar pajak yang merupakan penerimaan Negara
2.Membayar bukan pajak yang merupakan penerimaan Negara

Penerimaan  Negara yang berupa pajak ,terdiri atas:
1. Pajak-pajak
2. Bea masuk dan pungutan lain atas impor dan cukai
3. Pajak daerah dan distribusi daerah

Penerimaan Negara bukan pajak, terdiri atas :
1. Bagian Negara ,merupakan bagian produksi yang diserahkan oleh badan usaha atau usaha tetap kepada Negara sebagai pemilik sumber daya minyak dan gas bumi;
2. Iuran tetap, yaitu iuran yang dibayar oleh badan usha atau atau usaha tetap kepada Negara sebagai pemilik sumber daya minyak dan gas bumi sesuai luas wilayah kerja dan sebagai imbalan ataskesempatan untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi;
3. Iuran eksplorasi dan eksploitasi merupakan iuran yang dibayarkan oleh badan usaha atau usaha tetap kepada Negara  sebagai kompensasi atas pengambilan kekayaan alam minyak dan gas bumi yang tak terbarukan
4. bonus-bonus dalam penerimaan dari bonus-bonus atau penandatanganan bonus kompensasi databonus produksi dan bonus-bonus dalam bentuk apapun yang diperoleh badan pelaksana dalam rangka kontrak production sharing.

Sejak berlakunya otonomi daerah, pemerintah pusat berkewaajiban untuk mendistribusikan kembali penerimaan Negara dari hasil minyak bumi dan gas bumi kepada pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota yang mempunyai sumber daya alam tersebut.besarnya bagian yang diterima oleh pemerintah provinsi dan kabupaten atau kota telah ditentukan dalam pasal 6 ayat (6) undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara  pemerintah pusat  dan daerah. di dalam peraturan itu di tentukan 2 (dua) macam sumber daya alam, yaitu sumber daya alam minyak dan gas. bagian dari masing-masing pihak disajikan  berikut ini.

1. Minyak bumi
Bagian pemerintah pusat dari minyak bumi  sebanyak 85%; pemerintah daerah sebesar 15%. dari pembagian sebanyak 15% maka bagian dari  pemerintah  provinsi yang bersangkutan  sebanyak 3% (tiga persen); bagian kabupaten atau kota pengahsil sebesar 6%;dan bagian kabupaten atau kota lainnya dalam provnsi yang bersangkutan sebesar 6%

2. Gas alam
Bagian pemerintah pusat dari gas alam sebesar 70%; pemerintah daerah sebesar 30%.dari pembagian sebanyak 30%, maka bagian dari pemerintah provinsi yang bersangkutan sebanyak 6% (enam persen); bagian kabupaten atau kota penghasil sebesar 12%; dan bagian kabupaten atau kota lainnya dalam provinsi yang bersangklutan sebesar12%.

Bagian yang diterima oleh daerah sangat kecil. hal ini disbabkan biaya yang dikeluarkan untuk melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya minyak dan gas bumi sangat besar dan diperlikan teknologi yang canggih. biasanya dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tersebut harus mengadakan kontrak production sharing dengan perusahaan domestic atau perusahaan asing. perusahaan asing ini memiliki modal dan skill, sehingga mereka juga mempunyai hak untuk mendapat bagian dari kontrak production sharing. haknya dalah menierima bagian yang telah disepakati antara badan pelaksana dengan badan usha atau badan usaha tetap, sebagaimana yang tercnatum dalam kontrak production sharing.


PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada dasarnya kontrak bagi hasil merupakan bentuk kerja sama lain dalam kegiatan eksplorasi dan ekploitasi yang lebih menguntungkan Negara dan hasilnya di pergunakan kemakmuran rakyat. Momentum di mulainya  kontrak production sharing (KPS) yaitu pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi. Struktur dalam bagi hasil dalam undang –undang ini berbeda dengan undang –undang yang lama. Pada undang-undang yang lama, yang menjadi para pihak dadalah pertamina dan kontraktor. Sedangkn dalam Undang-Undang Nomer 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi maka para pihaknya adalah badan pelaksana dan badan usaha dan atau badana usaha tetap.

B. Saran
Sebaiknya bagian yang di terima oleh daerah pendapatanya  menjadi lebih tinggi mengingat bagian yang di terima oleh daerah ini sangat kecil hal ini di sebabkan biaya yang di keluarkan untuk melakukan ekplorasi dan ekploitasi sumber daya minyak sangat besar dan di perlukan teknologi yang sangat canggih, dalam hal melakukan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam tersebut di adakan kontrak production sharing dengan perusahaan domestic dan perusahaan asing. Karena perusahaan asing memiliki modal dan skil yang tinggi, sehingga mereka mempunya hak untuk mendapatkan bagian yang tinggi pula, oleh karena itu di harapkan agar baik pihak pemerintah lebiih menggalakan baik sumber daya manusi terlebih skil dan modal agar pendapatan dari eksplorasi dan eksploitasi lebih menguntungkan pihak pemerintah dan maupun perusahaan domestik.

DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur :
Anonim , 2006, Menguak Tabir Perubahan, JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), Jakarta
HS, Salim, 2004, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 2000, Asas-asas Hukum Perjanjian, CV Mandar Madju, Bandung.
Rahman, Hasanuddin, 2003, Contract Drafting, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Saleng, Abrar, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta.
Satrio, J., 1999, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, Penerbit Alumni, Bandung.
Simamora, Rudi M., 2000, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta.
Subekti, R., 1995, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

B. Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.





Referensi Jurnal :






Daftar Nama Anggota Kelompok (2EB16):
1. Dewi Komalasari - 21212952
2. Josina Christina - 23212974
3. Marya Yuliana - 24212469

REVIEW 1: “Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia"

“Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia”

HARIS RETNO SUSMIYATI
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman
Jl. Ki Hajar Dewantara Kampus Gunung Kelua Telp. (0541) 7072549 Samarinda 75123


ABSTRAK
Jurnal ini ditulis dengan tujuan untuk meneliti mengenai perkembangan pengaturan kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi di Indonesia, menganalisis prosedur terjadinya kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract) pada pertambangan minyak dan gas bumi serta mengkaji mekanisme penyelesaian sengketa dalam bidang pertambangan minyak dan gas bumi dengan sistem kontrak bagi hasil (Production Sharing Contract). 
Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif atau penelitian kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, makalah, jurnal, internet, peraturan perundang-undangan dan hasil tulisan ilmiah lainnya yang erat kaitannya dengan Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract)  pada kegiatan usaha pertambangan minyak dan gas bumi. Dengan demikian penelitian ini adalah untuk mengetahui aspek hukum Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract) dalam kaitannya dengan investasi pertambangan minyak dan gas bumi.
Kata kunci yang digunakan: kontrak, kontrak bagi hasil, pertambangan, minyak, gas bumi.

PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Minyak dan gas bumi (migas)  merupakan sumber daya alam strategis tidak terbarukan yang dikuasai oleh negara serta merupakan komoditas vital yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mempunyai peranan penting dalam perekonomian nasional sehingga harus dikelola secara maksimal untuk memberikan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Salah satu sistem kontrak yang dipergunakan dalam pertambangan migas adalah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract), yaitu kerjasama antara badan pelaksana dengan badan usaha atau badan usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi di bidang minyak dan gas bumi dengan prinsip bagi hasil.
Indonesia sudah sejak lama dikenal sebagai salah satu negara penghasil minyak dan gas bumi yang utama di dunia. Tahun 1970 adalah masa dimana terjadi bonanza harga minyak dunia yang mengakibatkan Indonesia, yang waktu itu perekonomian-nya bergantung pada sektor migas, mendapat penerimaan negara yang besar dari kontrak bagi hasil dengan bentuk usaha tetap (kontraktor) minyak multinasional, seperti Exxon Mobil, Shell, dan lain sebagainya.
Tetapi yang tidak dapat dilupakan bahwa kondisi saat ini Indonesia berada dalam tahapan akhir pemanfaatan minyak dan gas bumi sebagai pasokan energi utama, sering disebut dengan istilah “net importer” dimana produksi minyak dan gas bumi tidak dapat lagi di ekspor bahkan tidak mencukupi lagi untuk memenuhi konsumsi dalam negeri. Eksploitasi sumber daya alam sektor minyak dan gas bumi yang dilakukan secara terus menerus  mengakibatkan cadangan yang tersimpan di perut bumi semakin menipis, untuk Kalimantan Timur diperkirakan 2014 cadangan migasnya diperkirakan habis.
Sesuai dengan kemampuan negara maka model pengusahaan pertambangan migas bervariasi. Hal inilah yang mendasari dilakukannya kerjasama dengan pihak lain yang dituangkan dalam bentuk perjanjian pengusahaan pertambangan migas. Salah satu bentuk pengusahaan pertambangan migas adalah Kontrak Bagi Hasil (Production Sharing Contract). 

B.Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang, maka perlu dilakukan suatu kajian terhadap Aspek Hukum Kontrak Bagi Hasil (production sharing contract) dalam Pengusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia. Berdasarkan uraian sebelumnya, maka dapat dikemukakan permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
-Bagaimanakah perkembangan pengaturan kegiatan usaha pertambangan migas di Indonesia?
-Bagaimana prosedur terjadinya kontrak bagi hasil (production sharing contract) pada pertambangan migas?
-Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dalam bidang pertambangan migas dengan sistem kontrak bagi hasil (production sharing contract)


PEMBAHASAN

A. Pertambangan Minyak dan Gas Bumi di Indonesia
Minyak dan gas bumi dikuasai oleh negara. Tujuan penguasaan oleh negara adalah agar kekayaan nasional tersebut dapat dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) setelah amandemen yang menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Demikian pula bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
Mengingat minyak bumi dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang dikuasai negara dan merupakan komoditasa vital yang memegang peranan penting dalam penyediaan bahan baku industri, pemenuhan kebutuhan energi di dalam negeri, dan penghasil devisa negara yang penting, maka pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin agar dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Dengan demikian, baik perorangan, masyarakat maupun pelaku usaha, sekalipun memiliki hak atas sebidang tanah di permukaan, tidak mempunyai hak menguasai ataupun memiliki minyak dan gas bumi yang terkandung dibawahnya.
Penguasaan negara atas sumber daya minyak dan gas bumi kembali ditegaskan dalam pasal 4 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001, yaitu minyak dan gas bumi merupakan sumber daya alam strategis tak terbarukan yang terkandung di dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara.
Kegiatan usaha Minyak dan Gas Bumi yang diatur dalam pasal 5 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 terdiri atas: (1)  Kegiatan Usaha Hulu yang mencakup eksplorasi dan eksploitasi; (2) Kegiatan Usaha Hilir yang mencakup pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, niaga.

B. Pengertian Kontrak
Kontrak (contract) disebut juga perjanjian. Dalam pengertian yang luas, kontrak adalah kesepakatan yang mendefinisikan  hubungan antara 2 (dua) pihak atau lebih. Namun menurut Balck, Henry Chambell, kontrak adalah suatu kesepakatan yang di perjanjikan (promissory agreement) diantara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, momodifikasi atau menghilangkan  hubungan hukum.
Sebuah perjanjian adalah suatu kontrak diberlakukan secara hukum jika dan hanya jika: 
-Sebuah perjanjian adalah suatu kontrak diberlakukan secara hukum jika dan hanya jika: 
Perjanjian tersebut harus "saling" (semua pihak memiliki pemahaman yang sama tentang makna perjanjian mereka - ada "pertemuan pikiran")
 -Perjanjian tersebut harus "sukarela" (tidak ada pihak yang setuju di bawah pengaruh ancaman kekerasan atau penipuan keliru dari fakta-fakta)
-Harus ada sebenarnya "pertimbangan" dibayarkan (yaitu, masing-masing pihak harus mencapai keuntungan dengan memberikan suatu kontrol untuk mendapatkan sesuatu lain ---kontrol pihak dalam pertukaran: janji satu sisi sederhana untuk memberikan orang lain manfaat serampangan bukan kontrak)
 -Semua pihak dalam perjanjian tersebut harus "kompeten" (anak-anak dan parah gangguan mental atau gila diasumsikan oleh pengadilan akan mampu membentuk niat koheren atau menentukan kepentingan terbaik mereka sendiri, sehingga pengadilan tidak akan memberlakukan perjanjian yang mereka buat)
-Substansi perjanjian tidak boleh "bertentangan dengan kebijakan publik"

C. Kontrak Pengusahaan Pertambangan di  Dunia
Hukum pertambangan adalah aturan hukum yang mengatur hubungan hukum antara manusia dan subyek hukum lain dengan segala sesuatu yang bersangkut paut dengan pertambangan. Ini berarti mencakup masalah pengusahaan izin pengelolaan dan tindakan-tindakan lain yang berhubungan dengan pertambangan, penindakan jika terjadi sengketa dalam kotrak yang dilakukan.
Menurut Rudi M. Simamora, perjanjian/kontrak pengusahaa pertambangan minyak dan gas bumi yang ada di dunia dengan memperhatikan struktur kontrak dan legal terms yang melingkupinya  dapat di bagi dalam 5 bentuk utama yaitu:
1. Konsensi (Concession)
2. Kontrak Production Sharing (Production Sharing Contract)
3. Kontrak Jasa Resiko (Risk Service Contract)
4. Kontrak Jasa (Service Contract)
5. Usaha Patungan (Joint Venture)








DAFTAR PUSTAKA
Literatur :
Anonim , 2006, Menguak Tabir Perubahan, JATAM (Jaringan Advokasi Tambang), Jakarta
HS, Salim, 2004, Hukum Pertambangan di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono, 2000, Asas-asas Hukum Perjanjian, CV Mandar Madju, Bandung.
Rahman, Hasanuddin, 2003, Contract Drafting, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.
Saleng, Abrar, 2004, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta.
Satrio, J., 1999, Hukum Perikatan Perikatan Pada Umumnya, Penerbit Alumni, Bandung.
Simamora, Rudi M., 2000, Hukum Minyak dan Gas Bumi, Djambatan, Jakarta.
Subekti, R., 1995, Aneka Perjanjian, PT Citra Aditya Bakti, Bandung.

Peraturan Perundang-undangan:
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.












Daftar Nama Anggota Kelompok (2EB16):
1. Dewi Komalasari - 21212952
2. Josina Christina - 23212974
3. Marya Yuliana - 24212469